Mencari Jati Diri, Menimbang Diri Menjadi Yahudi


Tondano - Sejarah kelam yang mengiringi komunitas Yahudi di berbagai belahan dunia menimbulkan keengganan bagi komunitas itu untuk tampil di muka publik. Kengerian itu juga ada di Indonesia, negara demokrasi dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Kini, sejumlah warga negara Indonesia menemukan akar keturunan Yahudi mereka. Menjalankan apa yang pernah dijalankan leluhur bukan opsi yang mudah mereka putuskan.

Setahun lalu, DJ, bertekad mempelajari Yudaisme. Pemuda asal Pineleng, Minahasa, itu mengambil keputusan personal setelah menemukan silsilah keluarganya.

“Saya tahu bahwa saya memiliki darah Yahudi ketika saya masih duduk di bangku SMP. Tapi pencarian mendalam tentang ajaran Yudaisme baru saya mulai satu tahun belakangan,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Juni lalu.

Keluarga DJ merupakan penganut Kristen Protestan yang taat. Ia pun aktif berkegiatan sebagai pemuda gereja. Namun, sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan muncul dari dalam batinnya. DJ merasa perlu menggali apa yang pernah dipercayai nenek moyangnya.

“Sampai detik ini saya belum bisa menyebut diri sebagai Yahudi. Saya baru tiga kali ke sinagog,” ucapnya. Sinagog merupakan rumah ibadah penganut Yudaisme. Di Indonesia, satu-satunya Sinagog berdiri di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, sekitar dua jam perjalanan dari Pineleng. Tempat ibadah itu bernama Shaar Hashamayim.

Lihat juga:
Kronik Kehidupan Yahudi di Indonesia
Pencarian jati diri serupa juga dilakukan Toar Palilingan. Pengajar ilmu hukum di Universitas Sam Ratulangi itu menjelajah pohon silsilah keluarganya sebelum konversi menjadi pemeluk Yudaisme.

Ditemui di Sinagog Shaar Hashamayim, Toar yang kini memiliki nama lain, Yaakov Baruch, mengaku diberitahu neneknya perihal darah Yahudi di dalam tubuhnya saat masih berstatus siswa SMA.

“Saya tertantang mempelajari Yudaisme. Saya ke Belanda dan Israel untuk menggali semua yang terjadi di keluarga saya di masa lampau hingga akhirnya saya yakin mereka memang keturunan Yahudi,” kata dia.

“Ketika saya sudah dapat meyakinkan diri, saya putuskan untuk menganut agama nenek moyang saya,” tuturnya lagi.

Toar mendapatkan darah Yahudi dari ibunya. Yahudi menganut paham matrilineal. Kakek buyut Toar, Elias van Beugen, merupakan pegawai angkatan bersenjata pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pada pameran bertajuk Selamat Shabbat, The Unknown History of Jews int the Dutch East Indies yang diselenggarakan Museum Sejarah Yahudi di Amsterdam, van Beugen disebut lahir di Den Haag dari sebuah keluarga Yahudi ortodoks. “Orangtua ayah nenek saya itu tidak menandatangani akte kelahiran karena saat itu hari sabat,” kata Toar.


Kini Toar mengelola Sinagog Shaar Hashamayim. Sebelumnya, ia belajar di sebuah yeshiva atau lembaga pendidikan kitab taurat di Singapura. Dengan bekal itu, ia mengklaim dapat memimpin ibadah dan mengajar Yudaisme.

Sinagog Shaar Hashamayim memiliki beberapa umat, baik yang memiliki darah Yahudi maupun tidak. Empat di antara mereka adalah Manuel Sadonda, Yobbi Ensel, Reginal Tanalise dan Charles Danlikumol.

Tak seperti Toar, keempatnya tidak berkesempatan mendalami akar keluarga mereka. Namun, mereka tetap berikhtiar menjadi pemeluk Yudaisme. “Mempelajari Yudaisme itu susah, tapi lama-lama saya mengalami perkembangan. Mungkin ini adalah panggilan pribadi. Itulah menapa saya bisa sampai ke titik ini,” ucap Manuel.

 Manfred Hutter, penulis buku Between Mumbai and Manila: Judaism in Asia since The Founding of the State of Israel, menyebut keturunan Yahudi dan penganut Yudaisme mudah diterima di lingkungan sosial Sulawesi Utara karena sejumlah faktor.

Komunitas kristiani yang mengakar di wilayah itu memiliki berbagai denominasi, salah satunya berorientaasi pada kepercayaan mesianik. Orientasi denominasi itu, kata Hutter, mirip dengan apa yang diyakini penganut Yudaisme.

Selain itu, Hutter juga berpendapat, Sulawesi Utara mempunyai sejarah panjang dalam hubungan dagang dengan saudagar asal Israel. “Daerah itu menyediakan tempat yang aman di sebuah negara yang ‘bermusuhan’ dengan Yahudi,” ucapnya.

Di perbukitan Gunung Klabat, Airmadidi, Minahasa Utara, pemerintah kabupaten setempat mendirikan kaki dian (menorah) raksasa setinggi 19 meter. Kaki dian merupakan simbol penting Yudaisme. Meskipun pemkab membangun menara itu sebagai titik turisme, kaki dian itu tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan beragama di Sulawesi Utara.

Lihat juga:
Yahudi dalam Bingkai Kebhinekaan Indonesia

Yahudi di Jakarta
Peneliti Asian Studies dan sejumlah arsip pemerintah kolonial Hindia Belanda menunjukkan penyebaran komunitas warga Yahudi di cikal-bakal negara Indonesia. Aceh, Padang, Batavia, Manado, Semarang dan Surabaya pernah menjadi persinggahan komunitas Yahudi yang datang dari Eropa dan Timur Tengah.

Menurut Hutter, kamp interniran pada masa pendudukan Jepang, kebijakan anti-asing Presiden Soekarno dan anti-semit yang keliru pada Orde Baru menenggelamkan komunitas Yahudi di Indonesia.

Keberadaan organisasi masyarakat berpaham radikal di Indonesia bagian barat ternyata tidak membuat Elisheva Wiriaatmadja menutup diri atas jati dirinya. Secara tradisi, perempuan yang berdomisili di Jakarta itu tidak dapat disebut sebagai keturunan Yahudi karena mewarisi darah Yahudi dari ayahnya.

“Banyak hal yang saya tidak tahu tentang sejarah keluarga dan Yahudi. Ada rasa penasaran, bertanya-tanya, saya ini siapa, mereka itu siapa, orang-orang yang harusnya menjadi bagian dari diri saya,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Elisheva berkata, ia lahir di keluarga yang multiagama. Ayahnya seorang muslim sementara ibunya memeluk Kristen Protestan. Faktor itu membuat Elisheva dan saudara perempuannya, Abigail Wiriaatmadja, nyaman mempelajari Yudaisme.

Mei lalu, di Sydney Beth Din, Elisheva dan Abigail diterima dan dikonversi menjadi penganut Yudaisme. Sebelumnya, mereka harus mengikuti berbagai kelas pengajaran yang diakhiri ujian.

Elisheva berkata, menjadi pemeluk Yudaisme tidaklah mudah. Dalam ujian akhir, bisa saja para rabi penguji menyatakannya tidak lulus. “Konversi bukan hanya tentang hari ini, tapi pilihan untuk menjalani ajaran seumur hidup,” ucapnya.

Yudaisme, kata Elisheva, bukanlah agama yang mengenal misionaris. Ia berujar, Yudaisme merupakan agama keluarga. “Tidak ada sinagog pun, perintah agama tetap dapat dijalankan di dalam keluarga. Beribu tahun berlalu, memang sudah seperti itu,” tuturnya.

Sumber : http://www.cnnindonesia.com

Berlangganan Berita Terbaru:

0 Response to "Mencari Jati Diri, Menimbang Diri Menjadi Yahudi"

Post a Comment

Sumber Lain